Penduduk Pitas Memulih Bakau yang Dimusnah Kolam Udang Gagal

Penduduk setempat di Pitas, Sabah, menderita akibat kolam udang besar yang memusnahkan hutan bakau mereka dan kemudian gulung tikar.

Foto dan laporan oleh Chen Yih Wen.

Diterbitkan: 28 November 2022

Mastupang Somoi, a resident of Kampung Sungai Eloi in Pitas, Sabah, standing by section of the mangrove forests damaged by a shrimp farm. (Chen Yih Wen)

Selama sembilan generasi, penduduk orang asal  Tombunuo di Kampung Sungai Eloi di Pitas, Sabah, bergantung kepada hutan bakau untuk  makanan dan penghasilan. Daerah mereka adalah salah satu yang termiskin di Malaysia. Pada 2014, kerajaan Sabah meluncurkan projek besar kolam udang bernilai RM1.23 bilion di situ. Penduduk setempat dijanjikan masa depan yang lebih baik. Kolam udang mulai beroperasi pada 2016 dan menyediakan peluang pekerjaan. Projek ini telah membuka lebih dari 900 ha hutan bakau, dan merancang membuka 400 ha lagi. Tetapi kolam udang tersebut gulung tikar semasa pandemik COVID-19. Dalam rencana ini, penduduk Kampung Sungai Eloi mengongsi kesan kolam udang ke atas kehidupan mereka dan usaha mereka untuk memulihkan hutan bakau yang dimusnahkan, serta melindungi hutan yang masih ada.

“I’m a community building trainer and took a course with PACOS (Partners of Community Organizations in Sabah) for three years. After exchanging views with them, I found that the implementation of the shrimp farm project does not bring benefits but destruction to our villages. If we do not protest, our [food] source will deplete. It’s not that we protest against development, but we want a balance between development and preservation of our traditions. Because one of our traditions is our livelihood in the mangroves. We liken the mangroves to our ‘ice box.’ We get fresh food from there.” - Olon Somoi, 51

“Jentera diorang kasi masuk sudah, kasi rosak sudah itu bakau. Kami cari lokan [di sana] dan kumpul satu tempat yang memang betul-betul kami pertahankan. Kalau berbanding sebelum kolam udang masuk, memang pendapatan dia lumayan. Hasil tangkapan dia tu boleh dapat harga RM300. Mungkin dalam 50 ke 60 kilo dalam satu hari, satu malam begitu. Sekarang, kalau dalam 1 hari, mungkin diorang dapat tiga atau empat kilo saja. Kalau yang waktu kolam udang operasi kan, satu hari pergi memancing kadang-kadang kau tidak dapat. Satu ekor pun kau tidak dapat. Sekarang, macam habitat dia sudah mulai pulih balik bah.” – Murai Euos, 42

“I worked at the shrimp farm for six years in maintenance. If we had overtime, we could get around RM1,500. What I know is that the farm stopped operating because of the COVID-19 pandemic. Now, my income is definitely less, about half. But we go back to the basics - rubber tapping, go to sea, go to the river. Let’s say if the shrimp farm operates again, the advantage is that it provides job opportunities to the villagers. But the disadvantages are noise pollution from the machines and water pollution because of not following certain procedures. There are some supervisors who dispose without proper waste management.” - Antony Euos, 36

“Saya bekerja di kolam udang selama enam tahun sebagai maintenance. Kalau kami ada overtime, kami dapat dalam 1,500 [ringgit] macam tu. Apa yang saya tau, kolam itu berhenti beroperasi sebab oleh COVID-19. Sekarang ini, [pendapatan] memang berkurang, dalam separuh macam tu. Jadi, kami kembali pada basic asal – menoreh getah, pergi ke laut, pergi ke sungai. Kiranya kolam udang ini beroperasi semula atau dibuka semula, memang faktor kebaikannya dia memberi pekerjaan kepada penduduk kampung terdekat. Tapi keburukannya macam ada pencemaran bunyi daripada mesin-mesin kolam dan pencemaran air sebab tidak semua mengikut prosedur yang ditentukan. Ada sesetengah supervisor, dia buang secara melulu, tanpa ada perawatan di tempat yang telah disediakan.” – Antony Euos, 36

“If the shrimp farm [project] continues, it means that their operations area might increase. So for us, the villagers, our area becomes smaller. It’s not impossible if in the coming 10 years, there’s not enough [food and income] sources for the villagers. It’s impossible if we had to migrate from the village. When we were kids, three of us could go out nearby on a boat ourselves, and find [enough catch to fill up] a 10kg rice bag in two hours. Now, we have to go further. Though further, the catch is not guaranteed. Maybe a small plastic bag, can get 1 kilograms, 2 kilograms like that.” - Laura Lisua, 33

“Kalau itu kolam udang berterusan, maksudnya dia punya kawasan mungkin tambah besar. Jadi untuk kami penduduk kampung, kawasan kami semakin kecil. Jadi tidak mustahil kalau 10 tahun akan datang, memang tidak cukup untuk penduduk untuk mencari pendapatan. Jadi tidak mustahil kalau kami kena berhijrah dari kampung. Masa budak-budak, kami dalam tiga orang dayung sendiri, boleh cari dekat-dekat [hasil] yang beras 10kg itu kan, dua jam penuh. Kalau sekarang, kena pergi jauh. Sudah jauh, belum tentu hasil dia banyak. Mungkin plastik kecil lah, boleh dapat 1 kg, 2 kg begitu.” – Laura Lisua, 33

“When we were young, around 10 years old, that’s where we found food sources like [mangrove ear] snails in the mangroves. When I was a teenager, I followed my parents to collect mangrove tree barks for [construction] piling. That’s where we worked. When the shrimp farm was operating, they didn’t filter the chemicals from the pond and directly dumped it into the river. A lot [of marine life] died, like fishes, snails and crabs. We complained but it seems like they don’t care. If they restart operations, they must be diligent, don’t dispose of what should not be in the water.” - Andika Andaras, 38

“Dulu masa kecil-kecil, macam umur 10 tahun, dari sanalah kami mencari sumber macam siput-siput di bakau. Masa saya punya belia, saya ikut orang tua ambil kulit bakau untuk ‘piling’. Memang fokus kerja di sana. Masa kolam udang beroperasi, bahan kimia dari kolam, diorang terus tiada saring, terus buang di sungai. Banyak yang mati macam ikan, siput, ketam begitu. Kami hantar aduan tapi macam diorang tidak kisah. Kalau dia beroperasi balik, dia mesti teliti, tidak buang bahan-bahan yang tidak sepatutnya masuk di air itu.” – Andika Andaras, 38

“I’m a community building trainer and took a course with PACOS (Partners of Community Organizations in Sabah) for three years. After exchanging views with them, I found that the implementation of the shrimp farm project does not bring benefits but destruction to our villages. If we do not protest, our [food] source will deplete. It’s not that we protest against development, but we want a balance between development and preservation of our traditions. Because one of our traditions is our livelihood in the mangroves. We liken the mangroves to our ‘ice box.’ We get fresh food from there.” - Olon Somoi, 51

“Saya pelatih pembangun masyarakat dan berkursus dengan [NGO] PACOS (Partners of Community Organizations in Sabah) selama tiga tahun untuk membangun masyarakat. Apabila bertukar-tukar pandangan dengan diorang, saya mendapati pelaksanaan projek kolam udang ini bukan membawa kebaikan tetapi kemusnahan kawasan kami. Sekiranya kita tidak buat bantahan [projek], sumber kami memang sampai bila-bila pun tidak akan ada lagi. Bukan kita membantah kemajuan, tetapi kami mahu keseimbangan di antara kemajuan dan tradisi kami dipelihara. Sebab salah satu tradisi kami adalah kehidupan kami di kawasan paya bakau. Kami ibaratkan kawasan paya baku itu adalah kami punya ‘ice box’. Kami dapat makanan segar daripada situ.”  – Olon Somoi, 51

“There are areas that have been destroyed by the [shrimp farm] company that can’t be reforested, seeing that it was excavated so deeply and flooded so badly, and became a swamp. No plants can survive. We are villagers with many limitations. But we will not give up on rehabilitating the area naturally. Will will defend the 1,000 acres mangrove forests in the middle of six villages, the G6. It shouldn’t be destroyed or taken by the company but given to the six villages to be passed down from this generation to the next.” - Mastupang Somoi, 58

“Ada kawasan yang dimusnahkan oleh syarikat itu yang tidak dapat ditanam lagi, memandangkan sudah dikorek begitu dalam dan ditakungi begitu dalam, menjadi paya. Apa tumbuhan sekali pun tidak akan hidup. Kita ini sebagai orang kampung yang sangat terhad keupayaan kita. Tapi kita tidak akan berputus asa untuk memulihara kawasan itu secara semulajadi. Kami mempertahankan kawasan paya bakau 1000 ekar itu di tengah-tengah perkampungan enam buah kampung, G6 ini. Tidak seharusnya dimusnahkan ataupun diambil lagi oleh syarikat tetapi sisahkanlah kepada penduduk enam buah kampung ini untuk diwarisi dari sekarang sehingga generasi akan datang.” – Mastupang Somoi, 58

Mengenai jurugambar: Chen Yih Wen ialah seorang pembuat filem dokumentari dan wartawan Malaysia.

Catatan orang pertama telah disunting sedikit demi alur dan kejelasan. Rencana ini dihasil  dengan sokongan daripada Rainforest Journalism Fund dari Pulitzer Center. 

[Disunting oleh YH Law]

Esei foto lain:  Menggunakan Parang untuk Menyambungkan Hutan |   Fishers for Life

Related stories

Comments are welcomed but shall be moderated. Do not use language that is foul, slanderous, violent or that may violate laws. Personal attacks will not be tolerated.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Be A Macaranga Supporter

Like our stories?

You can help us do more.
Sign up to be a Macaranga Supporter by 21 Aug for extra goodies!
Show me the rewards!